CILEGON, iNewsCilegon.id –Peristiwa pemberontakan rakyat Cilegon terhadap Belanda pada 9-30 Juli 1888 kini diperingati secara rutin di Cilegon setiap tahunnya. Geger Cilegon ditulis secara detil oleh sejarawan Indonesia Prof Sartono Kartodirdjo.
Dalam peristiwa Geger Cilegon, banyak pejabat Belanda yang tewas. Peristiwa pemberontakan yang berlangsung selama 20 hari ini padam setelah sejumlah tokoh Cilegon tertangkap dalam pertempuran terakhir di Sumur, Pandeglang.
Sebanyak 94 tokoh Cilegon juga dibuang ke berbagai daerah di Indonesia untuk menghindari terulangnya pemberontakan serupa.
Judul buku yang ditulis Sartono adalah Pemberontakan Petani Banten 1888. Buku ditertibkan pada tahun 1966.
Buku kemudian dicetak ulang oleh Komunitas Bambu yang berpusat di Depok, Jawa Barat.
Rakyat Cilegon ini sendiri menyebut pemberontakan terhadap Belanda sebagai Geger Cilegon.
Dilansir dari Komunitas Bambu, Sartono Kartodirdjo, lahir di Wonogiri, 15 Februari 1912, wafat di Yogyakarta, 7 Desember 2007.
Sartono adalah sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi.
Sebelum menjadi guru, pria yang akrab disapa Sartono ini menyelesaikan pendidikan di HIS, MULO, dan HIK.
Sartono menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada usia 44 tahun.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan magister di Yale University, Amerika Serikat setelah sebelumnya mengajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan IKIP Bandung. Ia lulus pada 1964 disusul melanjutkan pendidikan doktoralnya dua tahun kemudian.
Pada 1968, Sartono dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang ia buat untuk meraih gelar doktoralnya dinilai banyak orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.
Ia menganggap disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Belanda-sentris.
Dari disertasi itu pula Sartono meraih penghargaan Benda Prize yang dianugerahkan oleh sejarawan HJ Benda pada 1977.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait