ICW Desak Luhut Buka Big Data 110 Juta Orang Dukung Pemilu 2024 Ditunda

M Mahfud
Menko Luhut disebut Menko paling tajir (Foto: Okezone)

JAKARTA, iNewsCilegon.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengirimkan surat permintaan informasi publik terkait klaim big data yang menyebut 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024.

"Kami mendesak Luhut agar segera membuka informasi publik berupa big data pengguna internet yang mendukung penundaan pemilihan umum tahun 2024," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (30/3).

Desakan ini, lanjut Kurnia sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

“Pernyataan Luhut yang disampaikan dalam pertemuan yang terbuka untuk umum, dikategorikan oleh undang-undang sebagai informasi publik yang wajib disediakan setiap saat. Sehingga jelas, tidak ada alasan bagi Luhut untuk menolak membuka big data yang disampaikan,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, gagasan penundaan Pemilu terus menggema dan diamplifikasi oleh sejumlah politisi. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal lima tahun.

Kata Kurnia, ini sejalan dengan ciri negara demokrasi dengan sistem presidensialisme yang menuntut adanya pergantian kepemimpinan dengan jangka waktu tetap. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024.

“Mestinya setiap orang, terlebih pejabat publik, tidak berupaya melangkahi amanat konstitusi tersebut. Sehingga, pernyataan yang disampaikan oleh Luhut dan sejumlah elite politik lain layak untuk dikritisi, bahkan dikecam bersama,” cetusnya

Untuk itu Kurnia mempertanyakan klaim big data 110 juta pengguna media sosial mendukung usulan Pemilu 2024 ditunda.

Pertama, lanjutnya, soal kapasitas Luhut yang menyampaikan big data. Sebab, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2019 tentang Kemenkomarves, Luhut tidak diminta untuk mengurusi perihal kepemiluan.

Apalagi, tegas Kurnia soal pernyataan Juru Bicara Kemenkomarves, Jodi Mahardi, pada pada 15 Maret 2022 lalu bahwa big data yang disampaikan oleh Luhut dikelola secara internal.

"Dari sini, muncul pertanyaan lanjutan, misalnya apa yang dimaksud dengan internal? Apakah pemaknaannya diarahkan kepada Kemenkomarves? Jika iya, apa landasan hukum yang membenarkan pengelolaan big data perihal rencana penundaan Pemilu 2024 dilakukan oleh kementerian tersebut?" ujar Kurnia.

Kedua, ia juga mempertanyakan validitas metode pengelolaan dan pengambilan responden big data yang disampaikan Luhut. Sebab, lanjut Kurnia, hasilnya sangat berbeda jauh dengan temuan sejumlah lembaga survei kredibel.

Kurnia menerangkan, misalnya dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang pada awal Maret lalu mengemukakan data bahwa 70 persen responden menolak penundaan pemilu. Kemudian, Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Litbang Kompas juga menyebut poin serupa dengan persentase 68,1 persen dan 62,3 persen.
 
"Hal tersebut terindikasi janggal. Sebab, data Luhut bertolak belakang dengan temuan sejumlah lembaga survei yang kredibel," pungkasnya.



Editor : Mumpuni Malika

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network