Namun, yang terjadi sebaliknya, pada Februari 2020, Titan mulai tidak membayar cicilan kreditnya. Hingga akhirnya pada Agustus 2020, kredit ke perusahaan tersebut berstatus kolektabilitas 5 alias macet.
Lantaran tidak adanya kejelasan skema penyelesaian kewajiban Titan kepada kreditur, begitupula skema penyelesaian yang disampaikan kreditur tidak mendapat tanggapan positif dari manajemen Titan. Membuat bank peserta sindikasi sepakat, menilai debitur terindikasi 'nakal'. Sebab, operasional perusahaan nyatanya berjalan lancar, harga batubara terus meningkat, namun manajemen tidak mau membayar utang.
Laporan lembaga independen Deloitte dan Borelli Walsh/Kroll, yang melakukan audit keuangan terhadap Titan menegaskan hal itu. Kedua lembaga tersebut menyampaikan adanya potensi ketidakpatuhan Cash Account Management Agreement (CAMA) yang dilakukan manajemen Titan. Ketidakpatuhan tersebut berdampak pada tidak adanya dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kewajiban kredit Titan kepada kreditur sindikasi.
Karena tidak adanya itikad baik dari manajemen Titan, membuat bank peserta sindikasi akhirnya mengadukan hal tersebut kepada Kepolisian, dengan delik dugaan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang. Sebab, Titan tidak mematuhi perjanjian, dengan tidak menyetorkan dana ke rekening penampungan untuk pembayaran cicilan, dan malah disetor ke rekening lain.
Menanggapi keterbukaan informasi yang disampaikan kreditur kepada otoritas bursa terkait kredit macet Titan, Direktur Utama PT Titan Infra Energy Darwan Siregar menyatakan akan membuka komunikasi kembali dengan para kreditur, termasuk Bank Mandiri. Dia berharap bisa kembali membahas restrukturisasi kredit Titan.
"Kami akan segera datangi kembali Bank Mandiri. Sebagai nasabah, kami berharap komunikasi bisa berjalan lebih baik lagi,” tutur Darwan, seperti dikutip sejumlah media, Jumat lalu.
Menurut Kiswoyo Adi Joe, Head Of Investment PT Reswara Gian Investa, laporan kreditur ke aparat hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukan debitur dalam upaya restrukturisasi kredit adalah hal yang wajar.
Hal itu sebagai upaya perbankan maupun lembaga keuangan dalam mencegah potensi kerugian yang semakin memburuk akibat sikap tidak kooperatif debitur.
Selaku praktisi sektor keuangan dan pasar modal, Kiswoyo menegaskan, sungguh tidak masuk akal, jika disebutkan bahwa kegiatan bisnis dan operasional debitur tetap berjalan normal, namun perusahaan tersebut mengaku tak mampu melaksanakan kewajibannya kepada kreditur.
“Restrukturisasi kredit macet itu macam-macam bentuknya. Mulai dari memperpanjang tenor, mengurangi nilai denda, memotong suku bunga, membantu mencarikan investor baru, hingga melaporkan ke aparat hukum, jika memang terbukti ada pelanggaran oleh debitur,” ujar Kiswoyo.
Agar tidak berlarut-larut dan semakin memburuk, Kiswoyo menyarankan agar seluruh pihak terkait, termasuk regulator bisa duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut. Tujuannya agar upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah pasca pandemi covid-19 tidak terganggu oleh kredit macet yang nilainya
Editor : Mohamad Hidayat
Artikel Terkait