get app
inews
Aa Read Next : Hakim yang Vonis Mati Ferdy Sambo Mertua Kiky Saputri? Cek Faktanya!

5 Tersangka Pembunuh Brigadir J Diperiksa Menggunakan Lie Detector, Ketahuan Bohong

Rabu, 07 September 2022 | 10:51 WIB
header img
Mesin Lie Detector (Foto: Ilustrasi)

JAKARTA, iNewsCilegon.id - Penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir J alias Nofryansah Yosua Hutabarat menemui babak baru. Kelima tersangka yakni Bharada E, Bripka RR, KM, mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Chandrawati, diperiksa dengan bantuan alat uji kebohongan atau lie detector.

Lalu apa yang disebut dengan mesin lie detector?

Melansir Investigations, alat pendeteksi kebohongan atau polygraph tests berasal dari bahasa Yunani. “Graph” berarti menulis, dan “poly” berarti banyak.

Mesin poligraf ditemukan pada 1921 di Berkeley, California, Amerika Serikat. Petugas polisi John Larson menciptakan mesin pertama itu, berdasarkan tes tekanan darah sistolik yang dipelopori oleh psikolog William Moulton Marston.

Sebelum itu, pada 1904 di Italia, sudah ada alat untuk mengukur laju napas seseorang. Teori di balik masing-masing alat tersebut adalah pernapasan dan/atau tekanan darah seseorang meningkat ketika berbohong.

Melansir dari BBC, kredibilitas poligraf menghadapi tantangan sejak ditemukan pada 1921. Muncul perdebatan tentang keakuratan alat tersebut.

Profesor Psikologi di University of Portsmouth, Prof Aldert Vrij mengatakan, alat pendeteksi kebohongan bisa menjadi pengalaman yang memunculkan stres, sehingga orang yang tidak bersalah bisa merasa bersalah.

"Orang yang ditanya dengan poligraf cenderung merasa stres. Jadi, meski poligraf cukup bagus dalam mengidentifikasi kebohongan, poligraf tidak terlalu bagus dalam mengidentifikasi kebenaran," katanya.

Ketika berbohong, seseorang akan mengalami tekanan fisik pada tubuh, seperti stres. Selain itu, sistem saraf simpatik menghasilkan respons spesifik.

Ada beberapa fungsi fisiologis yang mengalami peningkatan ketika seseorang berbohong seperti detak jantung, pernapasan, keringat, dan tekanan darah.

Lie detector akan mendeteksi peningkatan tersebut melalui sensor yang dihubungkan ke tubuh manusia untuk merekam perubahan itu. Data fisiologis itu kemudian tercatat pada grafis kertas atau komputer.

Peningkatan yang signifikan pada satu atau lebih fungsi fisiologis maka menunjukkan seseorang itu berbohong. Namun, butuh orang yang ahli untuk menafsirkan hasilnya dengan benar.

Faktanya, subjek biasanya sudah mengetahui pertanyaan apa yang akan diberikan, karena penyelidik sudah pernah menanyakan pertanyaan tersebut sebelumnya. 

Lie detector umumnya digunakan dalam investigasi kriminal. Cara kerjanya adalah dengan mendeteksi reaksi fisiologis subjek berdasarkan jawaban yang diberikan atas pertanyaan.

Yakni, jika seseorang mengatakan kejujuran atau hal yang sebenarnya, maka mereka akan cenderung tetap bersikap tenang.

Pada 2016 lalu, jika Anda masih ingat kasus kopi sianida yang melibatkan Jessica Kumala Wongso, dirinya diklaim telah lolos dari tes lie detector ini.

Sementara diketahui, sebelumnya baru ada 5 penjahat kelas kakap di dunia yang berhasil mengelabui mesin pendeteksi kebohongan atau lie detector ini.

Meskipun terlihat sangat ilmiah untuk mengukur respon subjek, seperti keringat yang muncul atau peningkatan denyut nadi dengan akurasi yang sangat baik, lie detector juga dikritik memiliki konsep yang lemah.

Menjalani tes kebohongan dapat menjadi pengalaman yang mengintimidasi. Anda duduk di sana dengan kabel dan tabung menempel dan melilit tubuh Anda.

Tes kebohongan ini memiliki proses panjang yang dibagi menjadi beberapa tahap. Dilansir dari People.howstuffworks.com, berikut tes kebohongan dilakukan menggunakan lie detector:

1. Pretest

Ini adalah tahap wawancara antara pemeriksa dan peserta ujian.

Sementara subjek duduk di sana menjawab pertanyaan, penguji melihat bagaimana subjek menanggapi pertanyaan dan memproses informasi.

2. Pertanyaan yang didesain

Di sini penguji mendesain pertanyaan yang khusus untuk masalah tertentu yang tengah diselidiki.

Penguji juga meninjau pertanyaan-pertanyaan ini dengan reaksi subjek untuk mendapatkan gambaran umum keadaan subjek.

3. In-test

Ini adalah waktu mendeteksi kebohongan dilakukan dengan memberi ujian yang sebenarnya.

Penguji akan menanyakan 10 atau 11 pertanyaan.

Namun hanya tiga tiga dari empat yang relevan dengan masalah atau kejahatan yang sedang diselidiki.

Pertanyaan lainnya adalah pertanyaan kontrol.

Pertanyaan kontrol adalah pertanyaan yang sangat umum, seperti "Pernahkah Anda mencuri sesuatu dalam hidup Anda?"

Itu adalah jenis pertanyaan yang apabila dijawab dengan "tidak," penguji dapat memperoleh gagasan tentang reaksi saat subjeknya menipu.

4. Post-test

Pemeriksa menganalisis data respon fisiologis dan membuat keputusan mengenai apakah subjeknye telah menipu atau tidak.

Jika ada fluktuasi signifikan yang muncul dalam hasil, ini bisa jadi sebagai tanda bahwa subjek berbohong.

Terutama jika subjek memberi tanggapan secara sama terhadap pertanyaan yang ditanyakan berulang kali.

Namun ada kalanya juga, pengujian ini salah menafsirkan reaksi seseorang terhadap pertanyaan tertentu.

Hal ini terjadi tak lain karena faktor manusia itu sendiri yang terkadang pandai memanipulasi ekspresi dan mengatur ketenangan sebisa mungkin.

Meski memiliki sejumlah kelemahan, namun hingga saat ini alat pendeteksi kebohongan ini masih jadi perangkat polisi untuk ungkap kasus kejahatan, lho!

Editor : Mahfud

Follow Berita iNews Cilegon di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut