CILEGON, iNews Cilegon.id - Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan salah satu tradisi yang ada di Indonesia menjelang perayaan hari raya idul fitri. THR diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS) dengan tujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dalam merayakan Hari Raya Keagamaan. Lantas benarkah THR awalnya hanya untuk PNS?
Dilansir cilegon.inews.id dari Kominfo, Senin (1/4/2024), Perjalanan THR di Indonesia dimulai pada Tahun 1951. Kala itu, Perdana Menteri Soekiman memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (saat ini PNS) berupa uang persekot (pinjaman awal) dengan tujuan agar dapat mendorong kesejahteraan. Uang tersebut nantinya akan dikembalikan ke negara dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.
Kemudian di Tahun 1952 para pekerja/buruh protes serta menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan yang sama. Perjuangan tersebut tidak sia-sia, karena pada Tahun 1954, Menteri Perburuhan Indonesia pada masa Soekarno, Raden Ahem Erningpradja mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran dan menghimbau setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah.
Atas desakan kaum buruh saat itu, S.M. Abidin, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”. Dalam Surat Edaran tersebut, THR bagi perusahaan swasta sifatnya sukarela dan tidak dapat dipaksakan.
Namun, karena surat edaran yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, dampaknya banyak perusahaan yang tidak memberi THR atau hadiah lebaran.
Dalam Sidang Dewan Nasional II di bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.”
Mengutip dari spkep-spsi.org, sepanjang periode 1951 hingga 1952 pemogokan tercatat sebanyak 541 hari, diikuti oleh 319.030 buruh. Pemerintah lantas mengeluarkan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Editor : M Mahfud