BANTEN, iNews.id - Gunung Anak Krakatau meletus sejak Kamis (3/2/2022) dan hingga kini semburan abu makin tinggi saja.
Berdasarkan laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), semburan abu vulkanik pada pukul 17.09 WIB sore ini Jumat (4/2/2022) sudah di atas 1 km.
Tiap kali Gunung Anak Krakatau batuk atau meletus, kita dipaksa untuk mengingat kembali sejarah peristiwa tahun 1883 saat Gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus.
Dalam buku Krakatoa, the Day the World Exploded August 27, 1883 (2003), disebutkan pada 250 tahun terakhir tercatat tak kurang dari 90 kali tsunami akibat letusan Gunung Krakatau.
Bahkan terjadi tsunami besar setinggi 120 kaki yang menelan korban jiwa sekitar 35.500 orang.
Bukan itu saja, suara letusan Gunung Krakatau terdengar hingga Australia Tengah yang berjarak 3.300 km dari titik ledakan. Penduduk Pulau Rodriguez, kepulauan di Samudera Hindia yang berjarak 4.500 km juga mendengar suara letusan.
Dasyatnya letusan Gunung Krakatau selain dicatat sejarah dunia, peristiwa 1883 juga menjadi cerita rakyat yang dapat dijumpai dimana-mana. Dari Lampung hingga Labuan, Pandeglang, Anyer, Pasauran, dan Cinangka di Kabupaten Serang.
Buku Letusan Gunung Krakatau 1883 Dalam Memori Kolektif Masyarakat Pesisir Banten, terbitan BNPB Jabar 2019 yang ditulis oleh Heru Erwantoro, menceritakan kegiatan haul Kalembak yang dilakukan di masjid Agung Labuan pada intinya untuk mengenang korban jiwa letusan dan akibat tsunami dari meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883.
Buku tersebut juga menceritakan keberadaan masjid di Cikoneng yang sering dikenang sebagai salah satu saksi bisu kuatnya masjid tersebut menghadapi tsunami yang menimpa wilayah tersebut.
Demikian halnya di Cilegon terjadi peristiwa langit bolong. Saat itu, pascaletusan Krakatau abu demikian pekat menutupi kota baja tersebut, dan sesekali sinar matahari menyeruak di antara tebalnya abu vulkanik, sehingga seolah-olah langit bolong.
Dan, kejadian pada saat letusan juga menjadi pengingat akan nama sebuah kampung bernama Randa Kari dan nama tempat yang disebut Penyerungan.
Bagi masyarakat Banten meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883 itu menyimpan ingatan kolektif tentang terjadinya letusan yang sangat dahsyat dan menyebabkan korban jiwa dan harta benda yang luar biasa, serta adanya ancaman kejadian yang serupa di masa-masa akan datang.
Editor : Mumpuni Malika