LEBAK, iNews Cilegon.id - Warga Badui memiliki keunikan tradisi yang tak dipunyai oleh suku lainnya. Setiap tahun, orang-orang Baduy akan melaksanakan tradisi nyepi khas masyarakat suku Baduy, yakni penyucian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dengan Kawalu dan menjadi bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan.
Ritual Kawalu berlangsung selama tiga bulan, dan selama kegiatan itu diadakan, khusus masyarakat Baduy Dalam akan menutup kawasan kampungnya dari kunjungan orang-orang luar, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara.
Seperti dijelaskan dalam website Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kawalu berasal dari kata walu yang bermakna balik atau pulang. Upacara ini juga dikenal sebagai ngukus atau membakar dupa untuk mengiringi sesajen pemujaan kepada para leluhur.
Kawalu adalah salah satu rangkaian perayaan kepercayaan di Badui Dalam dan tahapannya adalah upacara Ngalanjakan, Kawalu, Ngalaksa, dan Seba.
Penetapan itu dilakukan berdasarkan kesepakatan pemimpin adat (tangtu tilu) yaitu Tangtu Tilu Jaro Tujuh Lembaga Adat Desa Kanekes serta tokoh-tokoh masyarakat Badui Dalam. Keputusan mengenai waktu pelaksanaan akan dihasilkan setelah para pemimpin adat itu menyelesaikan puasa hari ke-18 dan melaksanakan upacara ngeriung, atau selamatan.
Urang Kanekes, begitu mereka dikenal, menginginkan ketenangan dalam menjalankan Kawalu dan itu hanya bisa didapat jika dilakukan saat situasi tenang dan damai. Tahun ini, Kawalu dilaksanakan sejak 13 Februari 2024 sampai 13 Mei 2024 atau 01 kawalu sampai dengan 01 Sapar sesuai tanggal adat yang ditetapkan oleh Tangtu tilu jaro tujuh, Lembaga adat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, yang meliputi Baduy Dalam yakni Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.
Tradisi Kawalu diadakan setelah masa panen selesai dilaksanakan. Ritual puasa seharian penuh sejak pukul 17.00 WIB sebelum hari H dan berakhir pada jam 17.00 WIB keesokan harinya diadakan pada bulan Kasa, Karo, dan Katilu dalam penanggalan orang Badui.
Puasa diadakan sehari pada satu bulan seperti tanggal 17 bulan Kasa, dikenal sebagai Kawalu Tembey atau Kawalu Pertama, kemudian tanggal 18 bulan Karo atau Kawalu Tengah. Terakhir adalah pada tanggal 17 bulan Katilu atau disebut dengan Kawalu Tutug. Selama puasa, mereka tidak diperkenankan makan dan minum hingga menjelang waktu berbuka. Makna Kawalu adalah untuk pensucian diri dari nafsu jahat.
Setiap tanggal 15 bulan Kasa atau sebelum berpuasa seluruh warga Badui Dalam wajib membersihkan lingkungan dan dilarang memakan atau mengolah hasil panen. Mereka hanya diperkenankan menggiling padi dengan cara tradisional yang disebut nutu. Jaro Saija menyebut, tradisi Kawalu sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan harus diikuti oleh seluruh orang Badui Dalam, laki-laki dan perempuan, kaum tua dan muda.
Orang lanjut usia dengan keterbatasan fisik atau perempuan yang sedang menstruasi tidak diwajibkan berpuasa. Karena sifatnya wajib, jika ada orang Badui Dalam yang melanggarkan kecuali beberapa yang tidak diwajibkan tadi, maka akan diberikan sanksi adat atau kabendon.
Setiap kepala kampung atau puun, wajib memimpin tradisi Kawalu di daerahnya dibantu oleh para Jaro Tujuh dan Baresan Palawari atau panitia pelaksana. Selepas menjalani ritual Kawalu, mereka pun mengadakan Seba dan secara beramai-ramai akan turun gunung menuju pusat kota untuk bertemu Ibu Gede dan Bapak Gede.
Ketika turun gunung dan bertemu kedua pejabat itu, para tokoh masyarakat Badui Dalam akan membawa hasil bumi seperti beras, pisang, gula aren, dan sayuran.
Perjalanan dari Desa Kanekes menuju pusat kota di Rangkasbitung dan Serang sejauh total 160 km pulang pergi dilakukan dengan berjalan kaki. Sejak dulu kala, para leluhur Badui Dalam sudah melarang masyarakat mereka untuk menaiki kendaraan ke mana pun bepergian.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait