Tak hanya itu, Dian menuturkan, PT Timah adalah anak perusahaan BUMN dan bukan BUMN, jadi tak ada kaitannya dengan kerugian negara. Lagipula yang berhak menentukan kerugian negara adalah BPK bukan BPKP.
Dikatakan perdebatan tak akan terjadi jika semua pihak sepakat bahwa kewenangan pemeriksaan dan penilaian kerugian negara hanya dimiliki oleh BPK.
"Saya telah menelusuri, dan satu-satunya dasar hukum yang jelas adalah Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang BPK, yang menyatakan bahwa BPK memiliki kewenangan untuk menilai kerugian negara. Saya hanya berpegang pada aturan, Yang Mulia. Jika ada satu saja undang-undang yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan untuk menilai dan menghitung kerugian negara dalam konteks ini, saya akan langsung setuju dan berhenti berdebat," sambungnya.
Ia mengatakan, sejauh ini, kewenangan BPKP hanya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yaitu untuk pencegahan kerugian negara melalui administrasi, bukan untuk penghitungan kerugian negara.
"Hal ini juga tidak diatur dalam PP 60 Tahun 2008. Maka, saya menunggu bukti konkret yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan tersebut," pungkasnya.
Sementara Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara, Dr. Rocky Marbun, SH., MH menyatakan kurang tepat untuk menerapkan pasal pidana apalagi pasal tipikor dalam kasus tata niaga timah ini, sebab negara malah akan mengalami kerugian.
“Mengacu pada subversi hukum administrasi, maka konsep penguasaan dan konsep kepemilikan sangat berbeda. Sehingga seharusnya terdakwa tidak dikenakan sanksi pidana namun sanksi administrasi,” ujar ahli hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Universitas Pancasila ini.
Editor : M Mahfud